Dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seringkali dilibatkan dalam permasalahan yang timbul antara para pihak yang melakukan proses peralihan maupun pembebanan hak atas tanah, bahkan sampai dengan ke ranah pidana.
Untuk mencegah hal tersebut, beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah membuat ketentuan yang substansinya merupakan prinsip kehati-hatian PPAT dalam menjalankan tugasnya.
“Seperti dalam kode etik PPAT Pasal 3 huruf f disebutkan, PPAT dalam menjalankan kewajibannya wajib bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak,” kata Ari Yusuf Amir, pengacara senior dari Ail Amir & Law Firm Associates dalam diskusi virtual yang digelar PP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP-IPPAT) di Jakarta, Jumat (9/10/2020).
Diungkapkan Ari, apabila dalam menjalankan jabatannya PPAT lalai menerapkan prinsip kehati-hatian maka PPAT bertanggungjawab secara pribadi sesuai Pasal 55 Perkaban (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional) 1/2016. “Lantaran tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya, ada beberapa PPAT yang harus berurusan ke ranah pidana,”ujarnya.
Ari menjelaskan, ada sejumlah pasal di KUHP yang rentan dikenakan ke PPAT diantaranya, sumpah palsu (Pasal 242 KUHP), Pemalsuan Surat (Pasal 263, Pasal 264 KUHP), Memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP), Penipuan (Bedrog) Pasal 378 KUHP dan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 3 UU Tipikor). “Contoh kasus, ada Notaris/PPAT di Jawa Timur yang diduga memberikan keterangan palsu di atas sumpah, dalam suatu persidangan pidana tentang pemalsuan akta jual-beli tanah melalui PPAT,” ujarnya.
Saat memberikan keterangan di persidangan, lanjut Ari, seorang PPAT membantah telah membuat akta palsu dan mengatakan bahwa kedua pihak dalam akta tersebut telah menyatakan lunas. Namun Keterangan PPAT ini dianggap tidak sesuai dengan fakta, sebab pemilik tanah mengaku tidak pernah menjual tanahnya. ”Akhirnya, dalam persidangan Ketua majelis hakim, memerintahkan jaksa untuk menyidik si PPAT karena dinilai memberikan keterangan palsu,” urainya.
Jika ada PPAT harus menghadapi proses penyidikan perkara pidana, menurut Ari ada sejumlah langkah yang harus dilakukan. Pertama, memastikan Penyidik kepolisian telah memperoleh persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris dalam meminta keterangan dan/atau Minuta Akta. Kedua, sesuai Pasal 114 KUHAP, PPAT dapat didampingi Penasihat Hukum. “Dalam hal ini PPAT dapat meminta dilakukan upaya seperti , menyusun Surat Permohonan Perlindungan Hukum yang ditujukan kepada Propam Polri,” ujarnya.
Langkah ketiga, si PPAT harus bersikap kooperatif selama proses penyidikan dengan menyiapkan segala data dan/atau dokumen yang diperlukan dan memberikan keterangan sesuai dengan kapasitasnya. “Di mana sesuai Pasal 112 KUHAP yang pada intinya mewajibkan setiap orang yang dipanggil oleh penyidik secara sah guna kepentingan pemeriksaan wajib memenuhi panggilan dimaksud,” terang Ari.
Keempat, terhadap hal-hal tertentu bersifat rahasia yang telah dipercayakan kepada PPAT, maka PPAT karena jabatannya dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, ini diatur dalam Pasal 170 KUHAP. Berikutnya, langkah kelima, Penyitaan terhadap surat yang bersifat rahasia dari PPAT, harus berdasarkan persetujuan PPAT atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat. “Kecuali rahasia negara atau ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan,” urai Ari.
Menurut Ari, sepanjang PPAT bekerja berdasarkan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka PPAT akan dilindungi oleh hukum. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Nomor: 702K/Sip/1973. Isinya menyatakan pada intinya setiap notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik notaris/PPAT, asas hukum, maka tidaklah dapat dituntut secara hukum, baik perdata, administrasi, dan pidana. Jadi, pertanggungjawaban pidana PPAT sangat bergantung pada kesengajaannya dalam melanggar ketentuan PP Jabatan PPAT. “Dan pemidanaan pada dasarnya bukan pada jabatan atau kedudukannya tapi pada perbuatannya,” terang Ari.
Selain itu, lanjut Ari, PPAT juga harus waspada pada pasal 52 KUHP yang mengatur pemberatan pemidanaan jika terbukti bersalah. Isi pasal itu menyebut, bilamana seorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Kepada para PPAT, Ari berpesan agar selalu menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Meneliti secara seksama data, dokumen dan surat yang digunakan sebagai persyaratan atau data penerbitan produk notaris, walaupun notaris tidak mempunyai tugas untuk memastikan keaslian dokumen.
Berikutnya, memastikan para pihak hadir berhadapan dan sebelum akta ditandatangani notaris membacakan isi akta kepada para pihak disertai penjelasan. Melakukan pendokumentasian seperti foto dan sampel sidik jari untuk memperkuat. Tertib dalam pengelolaan dokumen, jangan sampai produk notaris yang belum jadi tetapi sudah di register dan ditandatangani bahkan sudah beredar kepada para pihak. “Terakhir, PPAT juga harus mengenal Klien,”ujar Ari.
Usai menyampaikan paparan yang disampaikan Ari, diskusi dilanjutkan dengan forum tanya-jawab. Para peserta diskusi tampak antusias mengajukan beragam pertanyaan.
Source : https://akurat.co/news/id-1221720-read-ari-yusuf-cegah-kriminalisasi-ppat-harus-terapkan-prinsip-kehatihatian?page=2